RESEP KAYA MULIA
Jumat, Mei 22, 2009 | Author: Ghovur Adnan

Seorang teman bertanya, "Kenapa kita harus kaya, toh itu justru menjadi ujian yang membahayakan agama? Bagaimana jika itu justru akan mengoyak ruhiyah kita?". Sebelum menjawab saya tersenyum dan balik bertanya, "Berapa anak yatim yang kamu biayai? Berapa janda dan keluarganya yang kamu tanggung biayanya? Berapa da'i yang kamu tanggung transportnya? Berapa sarana umat yang sudah kamu bangun? Berapa rupiah yang kamu titipkan dalam fie sabilillah untuk mengusir dan menghentikan musuh Allah yang membantai saudara seiman, merampas kehormatan muslimah?" dan belum lagi saya lanjutkan tangannya sudah diangkat bertanda cukup, sambil genangan air mata di sudut mati mulai membasahi pipi. Sepintas kisah di atas barangkali mewakili sedikit banyak prinsip hidup bahwa kaya untuk diri kita. Membangun misi adalah membangun pondasi sebelum bangunan itu tinggi dan besar yang rapuh menanggung beban di atasnya bila tidak kuat konstruksi yang dibangunnya. Sosok sahabat Utsman bin Affan bila kita sebut akan cepat mengembalikan kenangan dan ingatan, saat perang Tabuk membutuhkan dana besar. Sahabat Utsman datang dengan 300 uqiyah emas. Saat keping emas ditimang di tangan, baginda Rasulullah membisikkan kalimat, "Setelah ini tidak ada yang memudharatkan Utsman!". Kaya di tangan orang yang tepat akan berbuah manfaat. Kaya di tangan orang yang benar akan menambah mulia. Bukan semata kaya yang menjadi tujuan tapi tepat dan benar ini yang menjadi tetap dulu menjadi tujuan. Hanya persoalannya bagaimana agar bisa kaya dan bisa mulia? Ini fokus yang kita bicarakan. Sebenarnya sulit mana yang harus didahulukan, kaya dulu atau mulia dulu? Karena ini penting mendasari setiap langkah strategis dan formula handal yang akan dicoba. Kalau kaya dulu, kecenderungan orang lupa, karena orang kaya punya harta, harta dalam bahasa arab "maalun" artinya sesuatu yang membuat orang condong dan gandrung dengannya. Dan begitulah kenyataannya mayoritas motivasi pekerjaan yang dilakukan adalah harta yang ingin didapatkan. Dan bukti empiris tentang hal ini banyak di antaranya Qorun, Fir'aun, Tsa'labah dan deratan panjang lainnya.

Tapi kalau mulia dahulu yang kita kedepankan, akan mendidik diri semenjak kecil agar tidak lupa ketika besar. Di samping mulia adalah bahan bakar utama untuk menjadi kaya. Barangkali sempat bingung, sebab kita belum faham arti mulia. Mulia sering diterjemahkan dengan kedudukan tinggi, tapi sebenarnya mulia lebih tepat dimaknai "bermanfaat banyak untuk orang lain". Dan ini selaras dengan misi Rasul untuk menjadi manusia kaya manfaat bagi orang lain. Maka dari sini kita berpijak, kalau mau mengawali usaha, canangkan dulu manfaat apa yang bisa kita berikan kepada orang lain dengan usaha itu. Kemudian akan muncul azzam bahwa 2,5% hasil untuk mulia. Ada yang 8% untuk mulia seperti yang dilakukan ayam bakar Wong Solo yang punya cabang lebih dari 40 outlet di Indonesia. Bahkan Bill Gates orang terkaya di dunia hari ini mencanangkan 90% dari penghasilannya untuk mulia dengan kegiatan sosialnya. Itu belum seberapa dibandingkan dengan sahabat Abu Bakar as-Shidiq yang 100%, bukan hanya labanya tapi seluruh hartanya. Kalaupun mulia ini tidak dicanangkan dalam prosentase penghasilan, bisa juga dalam manfaat usaha.
Agar banyak orang dapat pekerjaan, agar masyarakat dp punya mobil terjangkau seperti misi perusahaan mobil, Ford. Agar masyarakat bisa mendapatkan rumah. Dan tidak ada yang lebih baik melebihi misi agar agama Allah terjaga. Seberapa hasil yang akan kita terima tergantung seberapa pengorbanan yang kita berikan. Karena ikan yang besar selalu didapat dengan umpan yang besar. Dan perlu diperhatikan, semakin manfaat dirasakan semakin hasil kita rasakan. Maka memberikan shodaqoh kepada yang lebih membutuhkan akan menuai kebaikan lebih. Seperti yang Allah sebut,
"Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan" (Al-Insan : 8).
Tapi semuanya perlu diingat beramal atau shodaqoh untuk mendapat balasa, selama berharapnya kepada Allah masih dibenarkan, walaupun yang terbaik adalah ikhlas baik dibalas atau tidak oleh Allah. Siapa yang memberi karena berharap manusia akan membalasnya, dia akan kecewa. Tapi siapa yang memberi berharap kepada Dzat yang Maha Kaya tidak akan pulang hampa. [Abu Ayyasy]


This entry was posted on Jumat, Mei 22, 2009 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: