Karakteristik Kaum Ghuraba
Rabu, Juni 03, 2009 | Author: Ghovur Adnan

Dari Abu Hurairah radhiallaahu 'anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda: "Islam dimulai dalam kondisi asing, dan akan kembali sebagaimana ia dimulai (sebagai sesuatu yang) asing; maka berbahagialah bagi kaum ghuraba' (orang-orang yang asing tersebut)". [H.R.Muslim]

Kajian Bahasa

* Lafazh ghariiban ; yang merupakan derivasi (kata turunan) dari lafazh al-Ghurbah memiliki dua makna: pertama, makna yang bersifat fisik seperti seseorang hidup di negeri orang lain (bukan negeri sendiri) sebagai orang asing. Kedua, bersifat maknawi -makna inilah yang dimaksud disini- yaitu bahwa seseorang dalam keistiqamahannya, ibadahnya, berpegang teguh dengan agama dan menghindari fitnah-fitnah yang timbul adalah merupakan orang yang asing di tengah kaum yang tidak memiliki prinsip seperti demikian. Keterasingan ini bersifat relatif sebab terkadang seseorang merasa asing di suatu tempat namun tidak di tempat lainnya, atau pada masa tertentu merasa asing namun pada masa lainnya tidak demikian.

* Makna kalimat " bada-al Islamu ghariibaa [Islam dimulai dalam kondisi asing]" : ia dimulai dengan (terhimpunnya) orang per-orang (yang masuk Islam), kemudian menyebar dan menampakkan diri, kemudian akan mengalami surut dan berbagai ketidakberesan hingga tidak tersisa lagi selain orang per-orang (yang berpegang teguh kepadanya) sebagaimana kondisi ia dimulai.

* Makna kalimat " fa thuuba lil ghurabaa' [maka berbahagialah bagi kaum ghuraba' (orang-orang yang asing tersebut) ] " : Para ulama berbeda pendapat mengenai makna lafazh thuuba . Terdapat beberapa makna, diantaranya: fariha wa qurratu 'ain (berbahagia dan terasa sejuklah di pandang mata); ni'ma maa lahum (alangkah baiknya apa yang mereka dapatkan); ghibthatan lahum (kesukariaanlah bagi mereka); khairun lahum wa karaamah (kebaikan serta kemuliaanlah bagi mereka); al-Jannah (surga); syajaratun fil jannah (sebuah pohon di surga). Semua pendapat ini dimungkinkan maknanya dalam pengertian hadits diatas.

Intisari Dan Hukum-Hukum Terkait

* Hadits tersebut menunjukkan betapa besar keutamaan para Shahabat radhiallaahu 'anhum yang telah masuk Islam pada permulaan diutusnya Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam karena karakteristik tentang ghuraba' tersebut sangat pas buat mereka. Keterasingan (ghurbah) yang mereka alami adalah bersifat maknawi dimana kondisi mereka menyelisihi kondisi yang sudah berlaku di tengah kaum mereka yang telah terwabahi oleh kesyirikan dan kesesatan.
* Berpegang teguh kepada Dienullah, beristiqamah dalam menjalankannya serta mengambil suri teladan Nabi kita, Muhammad Shallallâhu 'alaihi wasallam adalah merupakan sifat seorang Mukmin yang haq yang mengharapkan pahala sebagaimana yang diraih oleh kaum ghuraba' tersebut meskipun (dalam menggapai hal tersebut) kebanyakan orang yang menentangnya. Yang menjadi tolok ukur adalah berpegang teguh kepada al-Haq, bukan kondisi yang berlaku dan dilakukan oleh kebanyakan orang. Allah Ta'ala berfirman: "Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan-Nya..." (Q.S. 6:116).

* Besarnya pahala yang akan diraih oleh kaum ghuraba' serta tingginya kedudukan mereka. Yang dimaksud adalah kaum ghuraba' terhadap agamanya alias mereka menjadi asing lantaran berpegang teguh kepada al-Haq dan beristiqamah terhadapnya, bukan mereka yang jauh dari negeri asalnya dan menjadi asing disana.

* Dalam beberapa riwayat, dinyatakan bahwa makna al-Ghuraba' adalah orang yang baik/lurus manakala kondisi manusia sudah rusak. Juga terdapat makna; mereka adalah orang yang memperbaiki apa yang telah dirusak oleh manusia. Ini menunjukkan bahwa kelurusan jiwa semata tidak cukup akan tetapi harus ada upaya yang dilakukan secara bijak, lemah lembut dan penuh kasih sayang dalam memperbaiki kondisi manusia yang sudah rusak agar label ghuraba' yang dipuji dalam hadits diatas dapat ditempelkan kepada seorang Mukmin.


Selengkapnya......
MENCARI JEJAK RASULULLAH DI SEKOLAH
Senin, Juni 01, 2009 | Author: Ghovur Adnan

Siang itu betul-betul berkeringat Rasulullah, tampak oleh para sahabat kesungguhan dalam kerja Rasullullah, menggali, mengangkut pasir dan batu untuk membuat parit pertahan sekitar Madinah. Kerja ini memang melelahkan karena ukuran lebar 8 m dan kedalam 4 m cukup besar untuk ukuran parit. Tapi tidak ada pilihan melihat koalisi Quraisy, suku Ghotafan, yahudi dan suku-suku lainnya sangat berambisi untuk menghabisi kaum muslimin. Kiprah Rasulullah seperti di atas mengundang pujian Rabbul 'alamin. Sekaligus menandai tingkat kesulitan mengikut ketauladanan Rasulullah. Melihat dari ayat yang di atas menunjukkan bahwa hanya bagi yang berharap pertemuan dan pahala Allah, kemudian balasan baik di akherat dan banyaknya mengingat Allah saja ketauladanan dapat diikuti.
Akhir perjalanan segera berganti dengan awal tahun ajaran baru. Terjadi kesibukan yang luar biasa bagi orang tua untuk menyekolahkan putra-putrinya di sekolah yang sesuai dengan pilihan. Tahulah bapak ibu, bahwa memilihkan sekolah bagi putra-putri berarti memilihkan di media tanam seperti apa nantinya akan tumbuh? Sadarkah bahwa peran me-yahudikan, menasranikan, memajusikan juga tentunya mengislamkan adalah ikhtiar orang tua? Dari yang sebelumnya fitrah dalam keislamannya. Maka karena memilih harus lebih hati-hati, kalau tidak, hanya akan menelan penyesalan di akhir nanti.


Fahan tujuan
Apa tujuan kita hidup di muka bumi ini? Dan apa tujuan yang kita arahkan untuk keluarga dan anak-anak kita? Kalau tujuannya agar anak kita cepat dapat pekerjaan, cepat menghasilkan uang yang membantu perekonomian keluarga, maka di kejuruan adalah yang cocok mengantarkan pada tujuan. Kalau nantinya menguasai ilmu dunia, melanjutkan di jenjang kuliah, dan mendapat pekerjaan yang layak atau setidak-tidaknya menjadi pegawai, maka di sekolah menengah umum (SMU). Tapi kalau tujuannya agar anaknya sholeh maka pilihannya adalah pesantren, walaupun tidak mesti ketinggalan dengan sekolahan pada umumnya. Atau bisa menjadi pilihan, sekolah-sekolah umum yang dikenal punya kegiatan ROHIS kuat, sehingga kesholehan yang menjadi tujuan mendapatkan kendaraan yang mengantarkannya. Ketika tujuannya sholeh tapi disemai di tempat yang tidak mendidik anak menjadi sholeh berarti salah jalan. Atau tujuannya dapat pekerjaan tapi disemai di tempat yang tidak mendidik pekerjaan. Memahami tujuan akan memandu seseorang tidak salah jalan atau setidaknya tidak terlalu lama diombang-ambingkan dalam kebingungan. Dan sudahkah para orang tua memahami kemana tujuan pendidikan anak-anaknya akan diarahkan? Jika pendidikan ini dikembalikan tujuannya kepada pendidikan Rasullah, maka tujuan itu selaras dengan penciptaan manusia di muka bumi ini, yaitu ibadah. Karena manusia diprogram dalam kehidupan ini untuk merealisasikan ibadah dalam segala sisi dari kehidupan, maka sekecil apapun aktifitasnya juga akan menuju kepada tujuan besar, sebab cukup menyita waktu, tenaga, dan dana.

Mengetahui Karakter dan Tabi'at
Ketika tujuan sudah ditetapkan, untuk sampai kepadanya haruslah mengenal betul tabi'at jalan yang akan mengantarkan. Seringnya orang putus di tengah jalan karena kehabisan bekal yang dibutuhkan, sementara masih tersisa jauhnya perjalanan. Atau terkejutnya dia terhadap dahsyatnya rintangan dan tantangan di jalan yang dilaluinya. Kesemuanya lebih disebabkan tidak mengenal jalan yang akan ditempuhnya. Jalan adalah sunnah, sehingga ketika berazzam mengikuti sunnah, berarti berazzam mengikuti jalan yang pernah dilalui oleh para sahabat, dan diikuti oleh kafilah-kafilah selanjutnya. Karena mengikuti di belakang Rasulullah dalam rentang waktu yang terpisahkan cukup lama, dibutuhkan keahlian mengenali jejak yang ditinggalkan. Diharapkan dengan jejak-jejak yang ditemukan, menyampaikan dan mempertemukan kepada Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam.
Dari sini kaki kita berpijak, untuk meneropong seluruh bentuk sekolahan, kemudian meneliti dan menganalisa, sejauh mana jejak Rasulullah ditemukan di sekolah-sekolah yang ditawarkan. Kalau sekolah mengajarkan untuk mentauhidkan Allah, mengenalkan dan memahamkan tentangnya serta mengenalkan tentang syirik yang menjadi lawannya, berarti kita temukan jejak Rasulullah sebagaimana dulu beliau mengajarkan kepada para sahabat akan hal yang sangat penting ini. Perhatikan bagaimana Rasulullah mengajarkan dan mendidik kepada salah satu muridnya. "Dari sahabat Mu'adz bin Jabal radhiyallahu 'anhu berkata, "Aku membonceng Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam di atas seekor keledai. Beliau bertanya kepadaku, "Wahai Mu'adz, tahukah kamu apa hak Allah atas hamba-hambaNya dan apa hak hamba-hambaNya atas Allah? Aku menjawab, 'Allah dan rasul-Nya yang lebih mengetahuinya'. Maka Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Hak Allah atas hamba-Nya adalah hendaklah mereka beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan sesuatu dengan-Nya. Adapaun hak hamba atas Allah adalah bahwa Allah tidak akan mengadzab siapa saja yang tidak menyekutukan sesuatu dengan-Nya". Maka aku bertanya, 'wahai Rasulullah, bolehkah aku beritahukan kabar gembira ini kepada orang-orang? Rasulullah berkata, "Jangan kamu beritahu sehingga mereka hanya berserah diri tanpa berusaha (HR. Bukhori Muslim)
Dan bila sekolah membina anak didiknya di samping dalam ketrampilan hidup dunianya juga ibadahnya dan membiasakan sunnah dalam kehidupannya berarti kita juga temukan jejak tarbiyah Rasulullah di dalamnya. Karena ibadah materi pokok kurikulum yang diajarkan Rasulullah kepada murid-muridnya. Sudahkah sholat jama'ah menjadi prioritas sekolah yang ditegakkan selama peserta didik masih dalam wilayah jam pembelajaran? Atau justru perkara yang ditinggalkan secara berjama'ah?
Perhatikanlah Rasulullah, begitu getolnya mendidik dan membina murid-muridnya dalam sholat, sehingga beliau ingin membakar rumah-rumah yang saat ditegakkannya sholat berjama'ah ditemukan di rumah-rumah tadi para lelaki yang tidak melaksanakan kewajiban menegakkan sholat berjama'ah di masjid sebagaimana yang dicontohkan. Masihkah ada sekolah yang menjadikan sholat berjama'ah menjadi bagian kurikulumnya?
Dan bila sekolah juga mengajarkan bagaimana berakhlakul karimah, seperti jejak-jejak itu menghias di setiap jalan tarbiyah yang diajarkan Rasulullah,
خياركم أحاسنكم أخلاقاً
"Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik akhlaknya".
Maka masih kita temukan jejak Rasulullah di dalamnya yang memungkinkan untuk mengikutinya. Jika hasil pengamatan kita ternyata banyak sekolah-sekolah yang nyaris tidak ditemukan lagi jejak Rasulullah, kenapa kita paksakan anak-anak kita di sana? Sementara setiap selesai sholat masih kita do'akan semoga menjadi sholeh. Ya, berdo'anya baik, bagian dari tawakkal kita kepada Allah, tapi bila ternyata yang kita tawakkali berada di tempat yang salah, dan sadar kita yang menempatkannya, bukanlah sama halnya kita menyesatkannya, atau perbuatan nekat yang mengundang para pencuri untuk mencuri hati, prilaku, akhlak dan masa depan anak kita untuk jauh dari Rasulullah? Sebelum sesal mengganjal akhir kehidupan selayaknya kita waspada menentukan pilihan.

Mempersiapkan bekal
Perjalanan jauh yang akan ditempuh tanpa diminta, bila kita menyadarinya akan mempersiapkan bekal ruh agar teguh, tubuh agar tangguh, kaki yang kuat agar tidak melepuh, dan juga bekal harta yang sungguh-sungguh. Maknanya, setiap misi dan keinginan membutuhkan modal untuk bekal, agar hasil yang dicapai bisa optimal.
Bekal ilmu adalah investasi berharga yang harus dimiliki sebelum menginvestasikan apa saja, termasuk anak-anak kita agar menjadi investasi amal yang handal.
Pastikan ilmu menggenangi hati, agar tertampak mana yang manfaat dan mana yang bukan manfaat. Ibarat air yang menggenangi cekungan tanah, akan membuat mengambang sampah dan membuat mengendap yang bermanfaat bagi tanah. Bekal harta tak kalah pentingnya, karena terkadang tujuan yang mulia harus dibeli dengan harga yang pantas untuknya. Seperti harga jannah, puncak kemuliaan, harga yang Allah tawarkan juga mahal dan tidak setiap orang bisa membeli secara asal. Kamu tidak akan mampu membelinya kecuali dengan mengikuti jejak para pendahulu sebelumnya (salafus sholeh), menemui, merasakan dan membuktikan seperti yang pernah mereka lakukan.
    •   •    
"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu?"
(al-Baqoroh : 214)

Harus Ada Kesungguhan
Hampir selalu kesuksesan, keberhasilan bersanding dengan kesungguhan. Baik kesungguhan dalam menempuhnya, kesungguhan dalam menjalaninya dan kesungguhan dalam mempertahankannya. Al-Hafidz Abdil Bisyr menceritakan bahwa Masruq pernah mengadakan rihlah demi untuk satu huruf begitu pula al-Hasan al-Bashri. Ibnu Qosim mengatakan tentang al-Imam Malik, "Imam Malik telah merelakan demi mencari ilmu melepaskan atas rumahnya dan dijual kayunya (untuk biaya)".
Berkata al-Hafidz Ibnu Katsir, "Imam Bukhori pernah bangun pada suatu malam dalam tidurnya kemudian menyalakan lampu, menulis manfaat yang terlintas padanya, kemudian memadamkan lampu, kemudian bangun lagi dan lagi sampai terulang hal itu tak kurang dari dua puluh kali" (al-Bidayah wan Nihayah 11/5).
Kalau tujuan sudah jelas, tabi'at jalan sudah kita kenali, bekal yang dibutuhkan sudah dimiliki, tinggal kesungguhan yang menyertai. Pahami tujuan dalam menyekolahkan anak, kenali sekolah mana yang akan mengantarkan pada tujuan, mencari bekal yang dibutuhkan dan jangan main-main soal memilih agar tidak salah memanen hasil di kemudian. Jika tidak ada sekolah yang mentarbiyah seperti tarbiyah Rasulullah, tanggung jawab tarbiyah sepenuhnya berpulang ke orang tua untuk menanggungnya. Namun bila ada yang meringankan beban tanggung jawab itu kenapa orang tua tidak mau berbagi dengannya. Yang sama persis dengan tarbiyah Rasulullah hampir tidak ada, karena banyaknya kekurangan manusia. Tapi yang mendekati jelas ada, pondok-pondok pesantren menjelma menjadi pengganti peran suffah yang pernah dibangun Rasulullah untuk menampung 400 lebih sahabat yang berkonsentrasi penuh pada belajar di sisi Rasulullah di samping sahabat lain yang di sekitarnya. Sekiranya Islam di Indonesia harus berlindung di benteng-benteng atas serangan musuh-musuhnya, benteng terakhir itu adalah pondok pesantren. Mati dan hilangnya sistem tarbiyah ini, akan menghancurkan fatal bangunan Islam, karena di dalamnya kader da'i dan orang-orang sholeh dilahirkan. Kaum muslimin punya pilihan yang menentukan, menjayakan sekolah-sekolah yang tidak mengajarkan tarbiyah Rasulullah, dengan dukungan anak-anaknya yang dikader di dalamnya. Dan biarkan Islam pudar bahkan mati maknawiyahnya, tersisa hanya identitasnya, atau menjayakan Islam dengan dukungan putra-putrinya di pondok-pondok pesantren, semoga Islam dengannya menjadi subur dan mengakar di bumi yang kita cintai ini. (Umar Faqihuddin)


Selengkapnya......
PACARAN DALAM KACAMATA ISLAM
Jumat, Mei 29, 2009 | Author: Ghovur Adnan

Dalam tiap diri manusia, tentunya di karuniai oleh Allah dengan sebuah perasaan cinta. Cinta itu sendirilah yang bisa menimbulkan suatu bentuk emosi yang bergejolak terhadap lawan jenis kita. Bukanlah hal yang tabu lagi apabila kita menyukai lawan jenis kita kemudian tindakan yang akan kita lakukan untuk permulaannya adalah pendekatan dengan orang tersebut, yang kemudian pada perkembangannya nanti hubungan tersebut biasa dikenal dengan istilah “Pacaran” .

Sebetulnya pacaran itu sendiri tidak ada hukumnya dalam Islam. Pacaran adalah sesuatu yang tidak haram, karena pada dasarnya kebutuhan manusia adalah mendapatkan kasih sayang :
1) Kebutuhan untuk dicintai
2) Kebutuhan untuk mencintai
Karena dalam kehidupannya, manusia tidak mungkin mengabaikan cinta dan kasih sayang. Hidup dengan cinta rasanya bagaikan hidup di taman yang penuh dengan keindahan.
Cinta dapat mempengaruhi perkembangan jiwa seseorang, karena :
1) Dengan cinta, seseorang dapat menjadikan dirinya menjadi seorang pemberani. Karena cinta itulah manusia bersedia mengorbankan tenaga, waktu , bahkan harta benda.
2) Dengan cinta itu pulalah, manusia dapat menjadi sosok yang lembut, penuh perasaan dan berbaik hati pada sesamanya.
Sedemikian besar pengaruh cinta dalam kehidupan kita, hingga dapat dikatakan bahwa hidup tanpa cinta itu berarti belum sempurna atau bisa dikatakan bahwa cacat jiwa kita.
Ketika getaran cinta muncul, mengakibatkan dua jenis manusia yang berbeda saling jatuh cinta. Seseorang akan jatuh cinta apabila dipengaruhi oleh faktor–faktor berikut :
1) Adanya sesuatu yang disukai dari obyek / orang yang ia cintai. Sebagai contoh : seseorang yang tertarik pada orang lain karena paraasnya yang cantik atau tampan .(hal tersebut sangatlah relatif )
2) Adanya persamaan antara 2 individu . Misalnya kecocokan dalam sifat – sifat dan kesenagan – kesenagan tertentu .
Adapun fase – fase dalam pacaran itun sendiri :
1) Fase pengenalan : diawali dengan perjumpaan pertama antara kedua pihak.
2) Fase jadian : ditandai dengan pernyataan tentang perasaan salah satu pihak dengan tujuan agar dapat menyatukan perasaan mereka .
3) Fase pembuktian cinta, pada fase ini terdapat berbagai konflik–konflik yang timbul yang panda intinya sebagai penguiji hubungan tersebut .
Menurut cara pandang Islam, pacaran itu boleh dilakukan apabila kita memenuhi syarat–syarat sebagai berikut :
1) Menjaga pandangan . Berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW “ Karena sebenarnya pandangan itu adalah anak panah iblis “ .
2) Tidak bolah berdua –duaan tanpa ada pihak lain.
3) Tidak boleh bersentuhan antara keduanya.
Nabi Muhammad SAW bersabda “Lebih baik bagimu menyentuh besi panas, daripada menyentuh wanita yang bukan mukhrimnya”
Alternatif paling baik untuk menyikapi pacaran menurutn Islam adalah “Pernikahan”.
Cinta adalah emosi dan kebutuhan seseorang untuk dicintai dan mencintai. Daya tarik orang yang dicintai tidak dilihat dari segi materi, biologi maupun fisik.
Kesimpulan dari uraian singkat ini :
Pacaran tidak haram ,menurut sudut pandang Islam, tetapi pacaran boleh dilakukan bila terdapat syarat–syarat dan dapat menjaga etika dan moral etika wanita muslim. “Karena wanita merupakan suatu perhiasan dan sebaik–baiknya perhiasan adalah wanita yang sholihah “
Dhanny Rizki Novianti

Selengkapnya......